Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungan. Sementara Emile Durkhelm
mengatakan Agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan
dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.(http://id.wikipedia.org/wiki/Agama)
Sedangkan
Citra, menurut Philip Henslow adalah kesan yang diperoleh dari tingkat
pengetahuan dan pengertian terhadap fakta (tentang orang-orang, produk, atau
situasi). Selain itu, Rhenald Kasali mendefinisikan citra sebagai kesan yang
timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan. Pemahaman itu sendiri timbul
karena adanya informasi.(http://id.wikipedia.org/wiki/Citra_(Hubungan_Masyarakat))
Lantas,
adakah hubungan antara “Agama” dan “Citra” ? secara garis besar ya tidak ada.
Karena agama itu berbicara tentang hal bersifat kerohanian. Yang pada akhirnya
berujung pada kehidupan di hari akhir nanti atau akhirat. Sedangkan citra,
jelas berbicara tentang hal yang terkesan dengan keduniawian.
Tapi
ketika dua hal tersebut disinggungkan dalam satu kesempatan, satu waktu, satu
situasi yang disebut dengan politik, kedua hal itu bisa menjadi sangat
mengerikan. Terlebih jika kedua hal tersebut ditempatkan pada dua sisi
berlawanan.
Contoh
kasus yang bisa kita cermati adalah ketika Kampanye Pemilihan Presiden 2014
kemarin. Dimana kedua kandidat dengan gencar membangun citra positif
masing-masing. Dan pada kesempatan yang sama, tim sukses juga membuat citra
negatig bagi lawan politiknya. Salah satu hal yang menjadi kekuatan untuk memperbaiki
dan menghancurkan citra itu adalah dengan agama.
Capres
No urut 1 Prabowo Subianto memiliki citra bayangan (mirror image) di masyarkat
sebagai antek-antek rezim Soeharto, yang dikhawatirkan akan menghidupkan kembali
Era Orde baru. Salah satu yang citra negative yang melekat padanya adalah ia ditengarai sebagai dalang dan bertanggung
jawab atas kasus penculikan belasan aktifis tahun 1997-1998. Oleh karena itu,
tidak sedikit yang menolak bahkan menentang dicalonkannya mantan menantu
presidan RI ke-dua itu.
Tapi di
sisi lain, Prabowo memiliki current image (citra yang berlaku) yang membuat
para pendukungnya berdecak kagum. Terutama dari pengalamannya sebagai perwira TNI. Selain itu, ia juga dikenal
sebagai sosok yang tegas, berani dan memiliki kecakapan dalam berretorika. Tak
hanya itu, Prabowo juga seorang pengusaha sukses yang memiliki puluhan
perusahaan besar di dalam dan luar negeri.
Capres
No urut 2 Joko Widodo ketika masa kampanye pilpres sering disebut sebagai anak
dari tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, citra bayangan lainnya
yang sempat digantungkan padanya adalah tentang status ke-islam-annya yang
diragukan. Saat itu, deras kabar yang beredar bahwa pria yang akrab disapa
Jokowi itu sebenarnya beragama Kristen. Tak sampai di situ, kabar lainnya,
Jokowi juga diisukan akan melakukan sistem Kristenisasi. Karena hal itu lah,
banyak orang yang awalnya simpati menjadi anti-pati kepadanya.
Tapi,
jauh sebelum citra buruk itu berkembang, rakyat Indonesia lebih dulu mengenal
sosok Jokowi sebagai pemimpin yang tegas, sederhana, dan suka “blusukan”
bertemu dengan rakyatnya. Berbagai prestasi yang ia capai ketika menduduki
jabatan Walikota Solo, kemudian sampai ia terpilih sebagai Gubernur DKI
Jakarta, membuat sosok Jokowi semakin dikenal oleh masyarakat. Karena hampir
setiap hari, wajah dan gerak-geriknya sebagai petinggi daerah menghiasi
pemberitaan TV Jakarta.
Dari kedua sisi positif dan negatif yang dimiliki kedua kandidat, posisi “Agama” memiliki peranan penting untuk memperbaiki atau menurunkan citra kedua kandidat. Prabowo yang sudah terlanjur basah dengan citra negatifnya, akhirnya dengan pendekatan ke-agama-an, populeritasnya bisa jauh meningkat. Disokong oleh 3 partai islam, yaitu PKS, PAN, dan PPP, dukungan terhadap Prabowo melonjak pesat,khususnya dari simpatisan yang bergerak dibidang keagamaan (Islam). Mulai dari kalangan ibu-ibu pengajian sampai ke pesantren besar dan terkemuka, dukungan dan doa bagi Prabowo berdatangan.
Di sisi
sebaliknya, kandidat capres No. 2 justru coba dijatuhkan citra positifnya oleh
“Agama”. Lewat Black Campaign (kampanye hitam) yang terkemas dalam Tabloid Obor
Rakyat, rumor Jokowi seorang Nasrani dan akan melakukan sistem Kristenisasi
pesat berkembang. Yang menjadi target sasarannya adalah basis dimana tempat
orang menuntut ilmu agama (Islam), yaitu pesantren atau yayasan agama. Tapi
dengan dukungan dari Partai Keadilan Bangsa, Jokowi pada akhir masa kampanye
mencoba mengklarifikasi segala tudingan yang datang padanya, dengan bersafari
dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Dan puncaknya Ia melakukan ibadah
umroh “kilat”.
Yang disesalkan dari realita pilpres kemarin adalah adanya beberapa fungsi agama yang bergeser. Prof. Dr. H. Jalaludin dalam bukunya Psikologi Agama memaparkan beberapa fungsi agama, yaitu: (1) Fungsi Edukatif; (2) Fungsi Penyelamat; (3) Fungsi Perdamaian; (4) Fungsi Kontrol Sosial; (5) Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas; (6) Fungsi Pembaruan; (7) Fungsi Kreatif dan;(8) Fungsi Sublimatif.(http://defanani.blogspot.com/2012/10/fungsi-agama-dalam-kehidupan-masyarakat.html) Dimana pergeseran beberapa fungsi agama itu dilakukan demi menaikan atau menurunkan citra seseorang.
Apakah bisa disebut jalan dakwah jika isi pesan agama yang disampaikan berujung pada munculnya rasa benci, perpecah-belahan antar kaum, baik yang seagama maupun yang berbeda ? dan berbahayanya, orang-orang seperti saya ini, yang tidak begitu paham tentang agama bisa merasa paling suci. Bukannya saling mendoakan, tapi malah saling menghakimi, menghina, dan menyumpahi hal yang buruk. Padahal kami itu saudara, seaqidah dan seiman.
Memang agama tak hanya mengurus tentang akhirat, tapi agama juga mengatur tentang hal duniawi. Tapi tentunya dengan cara yang baik. Jangan sampai ada “radikalisme” dalam proses mengejar hal yang duniawi itu, baik dari segi perbuatan sampai perkataan. Jikalau diantara kita ada yang salah, tegurlah dengan cara yang sopan. Jikalau perkataan saja tidak cukup memberikan teguran, berilah contoh atau suri tauladan yang baik dan doakanlah agar yang salah terketuk pintu hatinya dan menyadari kesalahannya.
Dan siapapun presiden yang terpilih, apakah itu pilihan kita atau bukan, kita harus tetap mendukung dan mendoakan yang terbaik bagi dirinya dan negeri kita tercinta. Karena maju mundurnya negeri ini tak hanya ditentukan oleh pemimpinnya, tapi juga harus didukung oleh seluruh rakyat. Seperti satu kisah pada masa ke-Khalifah-an Ali bin Abi Thalib yang pernah saya dengar pada satu sesi khutbah Shalat Jumat. Kurang lebih seperti ini kisahnya.
Pada suatu hari ada seorang rakyat bertanya kepada Khalifah Ali.
“Ya Khalifah, kenapa masa pemerintahanmu tidak semaju masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ?” ujar sang rakyat membandingkan dengan pemerintahan Khalifah Utsman yang mengalami banyak kemajuan dibandingkan pemerintahan Ali.
“Kamu ingin tahu kenapa pemerintahan Utsman lebih maju ?” jawab Ali, “karena pada jaman
Utsman, aku adalah rakyatnya.”
Dijelaskan oleh sang Khatib Jumat, bahwa sebagai rakyat, Ali Bin Abu Thalib selalu mendoakan dan mendukung sang Khalifah sekaligus sahabatnya, yaitu Utsman. Sedangkan pada jaman Ali, rakyatnya lebih banyak mengeluh dan juga terjadi perpecah belahan.
Dari kisah tersebut, akhirnya saya mendapatkan hikmah bahwa sebagai rakyat, kita juga harus selalu mendukung dan mendoakan pemimpin kita selama Ia berada di jalan yang benar. Jikalau mulai ada penyimpangan, kita bisa memperingatkan beliau dengan berbagai macam cara, bisa melalui kritik terbuka di media massa, media social, atau melalui lembaga-lembaga yang compete dibidangnya.
Semoga keberkahan, rahmat dan ridho dari Alloh SWT selalu menyertai kita, pemimpin-pemimpin kita, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aamiin.
Wasallam !